Selasa, 04 Januari 2011

Buku Harian Ayah

Ayah dan Ibu telah menikah lebih dari 30 tahun, dan saya sama sekali tidak pernah melihat mereka bertengkar.

Perkawinan Ayah dan Ibu ini selalu menjadi Teladan bagi saya. Saya sangat mengagumi beliau berdua. Dan melihat kehidupan perkawinan yang begitu menyenangkan, Saya juga selalu berusaha keras agar diri saya bisa menjadi seorang Pria yang Baik, Seorang Suami yang Baik seperti Ayah saya.

Namun harapan tinggallah harapan, sementara penerapannya sangatlah sulit. Tidak lama setelah menikah, saya dan Istri mulai sering bertengkar hanya disebabkan hal-hal kecil dalam rumah tangga. Misalnya, saya terlambat pulang kerumah karena ada kerja yang mengharuskan saya lembur. Isteri marah karena saya tidak sempat melayaninya bicara disebabkan badan saya yang sudah sangat letih, dan ingin segera tidur.

Lain saat, kami terlibat pertengkaran hanya masalah acara Televisi. Saya ingin nonton acara olah raga, sementara Isteri ingin nonton Sinetron.

Atau Isteri ngomel sepulang dari pesta, gara-gara saya lebih asyik ngobrol dengan teman-teman saya yang memang lama tak jumpa, dan membiarkan Isteri saya sendiri.

Belum lagi kebiasaan baru Isteri saya yang membuat saya tidak nyaman. Dia suka sekali mengenakan dasternya yang kedodoran, kalau saya ingatkan selalu mengatakan bahwa daster itu nyaman sekali untuk dikenakan.

Heran juga saya, mengapa dia tidak seperti dulu, saat masa pacaran kami dan diawal pernikahan kami dulu. Dia selalu rapi dan serasi dalam berpakaian. Rambutnya selalu tersisir rapi, dan tubuhnya berbau wangi.

Tempat tidur kami juga selalu hangat dengan Kemesraan. Cinta kami begitu manis dan menyenangkan. Tutur katanya juga selalu halus dan lembut. Dia selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan menatap wajah saya dengan mata yang berbinar penuh kasih sayang.

Terus terang saya kehilangan masa-masa yang menyenangkan dan penuh Cinta Kasih itu.

Pernah saya turuti nasihat seorang teman, untuk membina kembali Kemesraan itu dengan melakukan Bulan Madu ulang dihari yang khusus dan tempat khusus hanya berduaan saja. Tetapi itu hanya bertahan selama masa bulan madu itu saja, setelah kembali lagi ke rumah dan menjalani masa-masa kebersamaan dalam rutinitas, Semuanya kembali lagi ke kondisi semula. Bertengkar dan bertengkar....

Saya sangat mencintai Isteri saya dan saya merindukan suasana penuh Kedamaian seperti kehidupan berkeluarga Ayah dan Ibu saya. Mereka begitu mesra dan tak pernah terlibat pertengkaran.

Keinginan hati untuk memulihkan kondisi perkawinan kami yang selalu terlibat pertengkaran, membuat saya tidak kuasa menahan diri hingga menuturkan segala keluhan tersebut pada Ayah, sewaktu saya dan isteri berkunjung kerumah Orang Tua.

Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun Ayah mendengarkan segala keluhan saya, dan setelah itu beliau berdiri dan masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, Ayah mengusung keluar belasan buku catatan dan ditumpuknya begitu saja di hadapan saya. Sebagian besar buku tersebut halamannya telah menguning, kelihatannya buku-buku tersebut telah disimpan selama puluhan tahun.

Ayah saya tidak banyak mengenyam pendidikan, apa bisa beliau menulis Buku Harian ? Dengan penuh rasa ingin tahu saya mengambil salah satu dari buku-buku itu. Tulisannya memang adalah tulisan tangan Ayah, agak miring dan sangat aneh sekali, ada yang sangat jelas, ada juga yang semrawut, bahkan ada yang tulisannya sampai menembus beberapa halaman kertas.

Saya segera tertarik dengan hal tersebut, mulailah saya baca dengan seksama halaman demi halaman isi buku itu.

Semuanya merupakan catatan hal-hal sepele, "Suhu udara mulai berubah menjadi dingin, ia sudah mulai merajut baju wol untuk saya." "Anak - anak terlalu berisik, untung ada dia."

Sedikit demi sedikit tercatat, semua itu adalah catatan mengenai berbagai macam Kebaikan dan Cinta Ibu kepada Ayah, mengenai Cinta Ibu terhadap anak-anak dan terhadap keluarga ini.

Dalam sekejap saya sudah membaca habis beberapa buku, arus hangat mengalir di dalam hati saya, air mata mengalir dari mata saya. Saya mengangkat kepala, dengan penuh rasa haru saya berkata pada Ayah "Ayah, saya sangat mengagumi Ayah dan Ibu."

Ayah menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak perlu kagum, kamu juga bisa. ..." kata Ayah sambil tersenyum lebar.

"Anakku, menjadi Suami Istri selama puluhan tahun lamanya, tidak mungkin sama sekali tidak terjadi pertengkaran dan benturan-benturan. Intinya adalah harus bisa belajar untuk saling Pengertian dan Toleran. Setiap orang memiliki masa emosional, Ibumu terkadang kalau sedang kesal, juga suka mencari gara-gara, melampiaskan kemarahannya pada Ayah, mengomel. Waktu itu Ayah bersembunyi di depan rumah, di dalam Buku Catatan Ayah tuliskan segala hal yang telah Ibumu lakukan demi rumah tangga ini.

Sering kali dalam hati Ayah penuh dengan amarah waktu menulis dikertas itu, sehingga kertas itu sobek akibat tembus oleh pena. Tapi Ayah masih saja terus menulis satu demi satu kebaikan Ibumu, Ayah renungkan bolak balik dan akhirnya emosi Ayah juga tidak ada lagi, yang tinggal semuanya adalah Kebaikan dari Ibumu."

Dengan terpesona saya mendengarkannya. Lalu saya bertanya pada Ayah, "Ayah, apakah Ibuku pernah melihat catatan-catatan ini ?"

Ayah hanya tertawa dan berkata, "Ibumu juga memiliki buku catatan. Dalam buku catatannya itu semua isinya adalah tentang kebaikan diri Ayah. Kadang kala dimalam hari, menjelang tidur, kami saling bertukar buku catatan, dan saling menertawakan pihak lain. ha... ha..... ha....."

Memandang wajah Ayah yang dipenuhi senyuman dan setumpuk buku catatan yang berada di atas meja, tiba tiba saya sadar akan Rahasia dari suatu Pernikahan :

"CINTA itu sebenarnya sangat Sederhana : Ingat dan catat kebaikan dari orang lain. Lupakan segala kesalahan dari pihak lain."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar